TEORI EVOLUSI KEBUDAYAAN
Evolusi
merupakan sebuah kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita, apalagi jika
konsep pembicaraannya mengenai perubahan. Kata evlolusi sangat berkaitan sekali
dengan seorang tokoh yang bernama Charles Dharwin, dia adalah orang yang
mempopulerkan kata-kata evolusi pertama kali. Evolusi yang dimaksudkannya
disini adalah evolusi biologi makhluk hidup khususnya manusia. Namun, evolusi
tidak bermakna sesempit itu apabila dikaitkan dengan kata “perubahan” termasuk perubahan kebudayaan. Berbagai macam
pernyataan dan ungkapan yang mendukung serta menolak akan adanya evolusi
tersebut. Kenapa hal itu bisa terjadi.
Terdapat
beberapa pertanyaan yang membuat penulis perlu mengangkatkan judul makalah ini
mengenai evolusi kebudayaan itu sendiri, diantaranya :
1. Apa itu evolusi kebudayaan ?
2. Bagaimana proses evolusi secara
universal menurut para ahli ?
3. Bagaimanakan Analogi Evolusi, antara
evolusi biologi, evolusi kebudayaan dan seleksi alam ?
4. Kenapa menghilangnya teori
kebudayaan itu ?
Beberapa
pertanyaan tersebut akan penulis paparkan dalam pembahasan berikut.
B. Pembahasan
Berikut
pembahasan penulis mengenai teori evolusi kebudayaan :
1. Evolusi kebudayaan
Evolusi kebudayaan bisa didefenisikan sebagai suatu
perubahan atau perkembangan kebudayaan, seperti perubahan dari bentuk sederhana
menjadi kompleks (syaifudin, 2005 : 99) .Perubahan itu biasanya bersifat lambat
laun. Paradigm yang berkaitan dengan konsep evolusi tersebut adalah
evolusionalisme yang berarti cara pandang yang menekankan perubahan lambat-laun
menjadi lebih baik atau lebih maju dari sederhana ke kompleks.
Tak berlebihan apabila dikatakan bahwa evolusionalisme
dikatakan sebagai landasan awal bagi pembentukan berbagai paradigma dalam
antropologi. Menurut hemat penulis,
meskipun sebagian paradigm saat ini mengatakan tidak sepakat dengan
evolusionalisme namun secara sadar ataupun tidak sadar antropolog dan juga ahli
ilmu social lainnya menggunakan ungkapan-ungkapan
evolusionistik seperti “sederhana-kompleks”, “kemajuan-kemunduran”,
“tradisional-modern”, atau “desa-kota” dalam menanggapi gejala sosial tetentu.
Dengan kata lain, banyak pikiran dalam evolusionisme tetap hadir dalam
paradigm-paradigma antropologi social budaya masa kini.
2. Proses Evolusi Sosial Secara
Universal menurut para ahli
Menurut konsep evolusi secara universal mengatakan
bahwa masyarakat manusia berkembang secara lambat ( berevolusi ) dari
tingkat-tingkat rendah dan sederhana menuju ke tingkat yang lebih tinggi dan
kompleks. Dimana kecepatan perkembangannya atau proses evolusinya berbeda-beda
setiap wilayah yang ada di muka bumi ini. Itu sebabnya sampai saat ini masih
ada juga kelompok-kelompok manusia yang hidup dalam masyarakat yang bentuknya
belum banyak berobah dari dahuu hingga saat ini kebudayaannya.
a) Konsep evolusi social universal H.
Spencer
1) Teori mengenai asal mula religi
Spencer
megatakan bahwa semua bangasa yang ada di dunia ini, religi itu dimulai dengan
adanya rasa sadar dan takut akan maut. Spencer mengatakan bahwa bentuk religi
yang tertua adalah religi terhadap penyambahan roh-roh nenek moyang moyang yang
merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang yang telah meninggal. Bentuk
religi yang tertua ini pada semua bangsa di dunia ini akan berevolusi ke bentuk
religi yang lebih komplex yaitu penyembahan kepada dewa-dewa, seperti dewa
kejayaan, dewa perang, dewa kebijaksaan, dewa kecantikan, dewa maut (
konetjaranigrat,1980:35 ) dan dewa lainnya.
Dewa-dewa
yang menjadi pusat orientasi dan penyembahan manusia dalam tingkat evolusi
religi seperti itu mempunyai cirri-ciri yang mantap dalam bayangan seluruh
umatnya, karena tercantum dalam mitologi yang seringkali telah berada dalam
bentuk tulisan.
Elovusi dari
religi itu dimulai dari penyembahan kepada nenek moyang ke tingkat penyembahan
dewa-dewa.Kebudayaan berevolusi karena didorong oleh suatu kekuatan mutlak yang
disebut dengan evolusi universal. H.Spencer berpendapat bahwa perkembangan
masyarakat dan kebudayaan dari setiap bangsa di dunia akan melewati
tingkat-tingkat yang sama. Namun Ia tidak mengabaikan fakta bahwa perkembangan
dari tiap-tiap masyarakat atau sub-sub kebudayaan dapat mengalami proses
evolusi dalam tingkat-tingkat yang berbeda.
Pada suatu
bangsa misalnya, mungkin timbul keyakinan akan kelahiran kembali, dan karena
dalam suatu religi seperti itu aka nada keyakinan bahwa roh manusia itu bisa
dilahirkan kembali ke dalam tubuh binatang, maka terjadi suatu kelompok religi
dimana manusia menyembah binatang atau roh binatang. Pada suatu masa
binatang-binatang itu akan dianggap sebagai lambing dari sifat-sifat yang
dicita-citakan atau ditakuti oleh manusia, seperti misalnya burung elang
menjadi lambing kejayaan, gajah menjadi lambing kebijaksanaan, singa menjadi
lambang peperangan dan sebagainya. Dengan demikian manusia yang menghormati
binatang tadi mulai menghormati dewa kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa
peperangan dan sebagainya, yang seringkali memang berwujud binatang.
Dalam
permasalahan tersebut Spencer juga memberikan pandangannya terhadap proses
evolusi secara umum. Spencer mengatakan, dalam evolusi sosial aturan-aturan
hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam masyarakat, adalah
hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling cocok dengan
masyarakat di mana mereka hidup.
2) Teori tentang evolusi hukum dalam
masyarakat
Spencer
mengatakan bahwa hukum yang ada dalam masyarakat pada awalnya adalah hukum
keramat. Hukum keramat bersumber atau berasal dari nenek moyang yang berupa
aturan hidup dan pergaulan. Masyarakat yakin dan takut, apabila melanggar hukum
ini maka nenek moyang akan marah. Selanjutnya masyarakat manusia semakin
komplex sehingga hukum keramat tadi semakin berkurang pengaruhnya terhadap
keadaan masyarakat atau hukum keramat tersebut tidak cocok lagi.
Maka
timbullah hukum sekuler yaitu hukum yang berlandaskan azas saling
butuh-membutuhkan secara timbal balik di dalam masyarakat. Namun karena jumlah
masyarakat semakin banyak maka dibutuhkan sebuah kekuasaan otoriter dari raja
untuk menjaga hukum sekuler tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, timbullah
masyarakat beragama sehingga kekuasaan otoriter Rajapun tidak lagi cukup. Untuk
mengatasi hal tersebut , ditanamkanlah suatu keyakinan kepada masyarakat yang
mengatakan bahwa raja adalah keturunan dewa sehingga hukum yang dijalankan
adalah hukum keramat.
Pada
perkembangan selanjutnya timbullah masyarakat industri,dimana kehidupan manusia
semakin bersifat individualis yaitu suatu sifat yang mementingkan diri sendiri
tanpa melihat kepentingan bersama. Sehingga hukum keramat raja tidak lagi mampu
untuk mengatur kehidupan masyarakat. Maka munculah hukum baru yang berazaskan
saling butuh-membutuhkan antara masyarakat. Lahirlah suatu hukum baru yang
disebut dengan undang-undang.
Dalam
masalah tersebut terakhir spencer sempat mengajukan juga pandangannya tentang
makhluk yang bisa hidup langsung adalah yang bisa cocok dengan persyaratan yang
terdapat dalam lingkungan alamnya. Maka dalam evolusi social aturan-aturan
hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan dalam masyarakat adalah hukum
yang dapat melindungi kebutuhan para warga masyarakat adalah hukum yang
melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling berkuasa, yang paling
pandai, dan yang paling mampu.
b) Teori evolusi keluarga J.J. Bachofen
Menurut Bechofen bahwa di seluruh
dunia ini, evolusi keluarga berkembang melalui empat tahapan (
Koentjaraningrat, 1980 ) yaitu sebagai berikut :
1. Tahapan Promiskuitas : di mana
manusia hidup serupa sekawan binatang berkelompok, laki-laki dan wanita berhubungan
bebas…sehingga melahirkan keturuna tanpa ada ikatan ( Koentjaranigrat, 1980: 38
) pada tahapan ini kehidupan manusia sama dengan kehidupan binatang yang hidup
berkelompok. Pada tahapan ini, laki-laki dan perempuan bebas melakukan hubungan
perkawinan dengan yang lain tanpa ada ikatan kelurga dan menghasilkan keturunan
tanpa ada terjadi ikatan keluarga seperti sekarang ini
2. Lambat laun manusia semakin sadar akan
hubungan ibu dan anak, tetapi anak belum mengenal ayahnya melaikan hanya masih
mengenal ibunya. Dalam keluarga inti, ibulah yang menjadi kepala keluarga dan
yang mewarisi garis keturunan. Pada tahapan ini disebut tahapan matriarchate.
Pada tahapan ini perkawinan ibu dan anak dihindari sehingga muncullah adat
exogami.
3. Sistem Patriarchate : dimana ayahlah yang
menjadi kepala keluarga serta ayah yang mewarisi garis keturunan. Perubahan
dari matriarchate ke tingkat patriarcahte terjadi karena laki-laki merasa tidak
puas dengan situasi keadaan sosial yang menjadikan wanita sebagai kepala
keluarga. Sehingga para pria mengambil calon istrinya dari kelompok-kelompok
yang lain dan dibawanya ke kelompoknya sendiri serta menetap di sana. Sehingga
keturunannyapun tetap menetap bersama mereka.
4. Pada tahapan yang terakhir, patriarchate lambat
laun hilang dan berobah menjadi susunan kekerabatan yang disebut Bachofen
susunan parental. Pada tingkat terakhir ini perkawinan tidak selalu dari luar
kelopok (exogami) tetapi juga dari dalam kelompok yang sama (endogami). Hal ini
menjadikan anak-anak bebas berhubungan langsung dengan kelurga ibu maupun ayah.
c) Teori evolusi kebudayaan di
Indonesia, G.A. Wilken
Ia merumuskan teori-teori tentang sejumlah gejala
kebudayaan dan kemasyarakatan, misalnya tentang teknonimi atau tentang hakikat
mas kawin. Menurut Wilken pada pada mulanya hanya merupakan alat untuk
mengadakan perdamaian antara pengantin pria dengan pengantin wanita setelah
berlangsung kawin lari suatu kejadian yang sering terdapat dalam masa peralihan
antara tingkat matriakat ke tingkat patriakat.
d) Teori evolusi kebudayaan L.H Morgan
Ia mencoba
melukiskan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia melalui delapan
tingkat evolusi kebudayaan. Menurutnya, masyarakat dari senua bangsa di dunia
sudah atau masih menyelesaikan proses evolusinya melalui delapan tingkat
berikut :
1) Zaman liar tua, yaitu zaman sejak
adanya manusia sampai ia menemukan api; dalam zaman ini manusia hidup dari
meramu, mencari kar-akar dan tumbuhan-tumbuhan liar.
2) Zaman liar madya, yaitu zaman sejak
manusia menemukan api, sampai ia menemukan senjata busur panah; dalam zaman ini
manusia mulai merobah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari
ikan di sungai atau menjadi pemburu.
3) Zaman liar muda, yaitu zaman sejak
manusia menemukan busur panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat
barang-barang tembikar; dalam zaman ini mata pencaharian hidupnya masih
berburu.
4) Zaman barbar tua, yaitu zaman sejak
manusia menemukan kepandaian membuat tembikar sampai ia mulai beternak atau
bercocok tanam.
5) Zaman barbar madya, yaitu zaman
sejak manusia beternak atau bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian
membuat benda-benda dari logam.
6) Zaman barbar muda, yaitu zaman sejak
manusia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam, sampai ia mengenal
tulisan.
7) Zaman peradaban purba, menghasilakan
beberapa peradapan klasik zaman batu dan logam.
8) Zaman perdaban masa kini, sejak
zaman peradapan klasik sampai sekarang.
e) Teori Evolusi Religi E.B. Tylor
E.B.Tylor
berpendapat, asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia akan adanya jiwa.
Kesadaran ini disebabkan oleh dua hal: ( Koentjaraningrat 1980:48)
1) Adanya perbedaan yang tampak pada
manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Manusai sadar bahwa
ketika manusai hidup ada sesuatu yang menggerakkan dan kekuatan yang
menggerakkan manusia itu disebut dengan jiwa
2) Peristiwa mimpi, di mana manusia
melihat dirinya di tempat lain ( bukan di tempat ia sedang tidur ). Hal ini
menyebabkan manusia membedakan antara tubuh jasmaninya yang berada di tempat
tidur dengan rohaninya di tempat-tempat lain yangdisebut jiwa.
Selanjutnya
Tylor mengatakan bahwa jiwa yang lepas ke alam disebutnya denga roh atau mahluk
halus. Inilah menyebabkan manusia berkeyakinan kepada roh-roh yang menempati
alam. Sehingga manusia memberikan penghormatan berupa upacara doa, sesajian
dll. Inilah disebut Tylor sebagai anamism.
Pada tingkat
selanjutnya manusia yakin terhadap gejala gerak alam disebabkan oleh
mahluk-mahluk halus yang menempati alam tersebut. Kemudian jiwa alam tersebut
dipersonifikasikan sebagai dewa-dewa alam. Pada tingkat selanjutnya manusia
yakin bahwa dewa-dewa tersebut memiliki dewa tertinggi atau raja dewa. Hingga
akhirnya manusia berkeyakinan pada satu Tuhan.
f) Teori Mengenai Ilmu Gaib dan Religi J.G.
Frazer
Pada mulanya
manusia hanya menggunakan akalnya untuk memecahkan masalah. Namun lambat laun
sistem pengetahuan manusai semakin terbatas untuk memecahkan masalah bahkan tidak
sanggup lagi memecahkan masalah. Sehingga manusia memecahkannya dengan magic,
ilmu gaib. Magic adalah semua tindakan manusia untuk mencapai sesuatu dengan
menggunakan kekuatan-kekuatan alam dan luar lainnya. (Koentjaraningrat 1980:54)
Namun dalam
perkembangan selanjutnya kekuatan magic tersebut tidak selamnya berhasil. Maka
manusia mulai sadar bahwa di alam ini ada yang menempatinya yaitu mahluk-mahluk
halus. Mulailah manusai mencari hubungannya dengan mahluk-mahluk halus
tersebut. Dengan itu timbullah religi. Religi adalah segala sistem tingkah laku
manusia untuk memproleh sesuatu dengan cara memasrahkan diri kepada
penciptanya.
3. Analogi Evolusi, antara evolusi
biologi, evolusi kebudayaan dan seleksi alam
Tidak ada persoalan dengan pandangan bahwa kebudayaan
itu berevolusi. Manusia menjadi pemburu dan peramu, menggunakan peralatan
disamping otot-otot dan gigi-geligi. Manusia mulai menanam tumbuh-tumbuhan dan
memelihara hewan untuk memenuhi kebutuhan akan makanan, manusia membangun kota
dan sistem politik yang kompleks. Perubahan-perubahan kebudayaan ini dijelaskan
oleh seleksi alam meskipun perilaku budaya tidak memiliki komponen genetic
untuk diwariskan.
Proses seleksi alam membutuhkan tiga syarat yang harus
dipenuhi, yaitu ;
Pertama, seleksi alam memerlukan variasi agar bisa bekerja.
Kedua, harus ada reproduksi yang berkelanjutan.
Ketiga, harus ada
mekanisme yang memperbanyak unsur-unsur pengubah kebudayaan tersebut.
Dalam evolusi biologi, variabelitas berasal dari
rekombinasi genetic dan mutasi. Sedangkan dalam evolusi kebudayaan variabelitas
dating dari rekombinasi perilaku yang dipelajari dan dari penemuan-penemuan.
Kebudayaan tidaklah tertutup atau terisolasi seperti halnya spesies. Suatu
spesies tidak akan meminjam unsure-unsur genetic dari spesies lain, tapi
kebudayaan dapat meminjam hal-hal baru dan perilaku dari kebudayaan lain.
Sebagai contoh, cara bertanam jagung di suatu daerah dapat diterapkan juga di
daerah-daerah lain.
Perilaku juga cenderung mengalami seleksi seperti
halnya seleksi pada ukuran tubuh atau ketahanan terhadap penyakit. Meskipiun
perilaku tidak diwariskan secara genetic kepada generasi selanjutnya, orang tua
yang menunjukkan unsure-unsur perilaku adaptif lebih cenderung “menciptakan”
unsure-unsur itu kepada anak-anaknya, yang dipelajari melalui peniruan maupun
ajaran orang tua.
Orang tua dan anak-anak juga mungkin meniru perilaku
adaptif orang-orang di luar keluarga. Dengan demikian, meskipun evolusi biologi
dan evolusi kebudayaan tidak sama, cukup beralasan untuk berasumsi bahwa
seleksi alam secara umum bisa bekerja pada gen maupun perilaku budaya. Inilah
antara lain yang penulis maksud dengan analogi evolusi.
4. Menghilangnya teori-teori evolusi
kebudayaan
Pada akhir abad ke-19 mulai timbul kecaman-kecaman
terhadap cara berfikir dan cara bekerja para sarjana penganut evolusi
kebudayaan. Kecaman mulai menyerang detail dan unsure-unsur tertentu dalam
berbagai karangan dari para penganut teori-teori tersebut, kemudian meningkat
menjadi serangan-serangan terhadap konsepsi dasar dari teori-teori tentang
evolusi kebudayaan manusia.
Pengumpulan bahan keterangan baru, terutama sebagai
hasil penggalian-penggalian serta bertambah banyaknya aktivitas-aktivitas
penelitian para ahli antropologi sendiri. Dengan demikian mulai tampak bahwa
tingkat-tingkat evolusi para penganut teori-teori evolusi dari para penganut
teori-teori evolusi kebudayaan itu hanya merupakan konstruksi-konstruksi
pikiran saja, yang tidak sesuai dengan kenyataan dan yang lama-kelamaan tidak
dapat di pertahnkan lagi.
Pada
permulaan abad ke-20 hampir tidak ada lagi karya antropologi berdasarkan konsep
evolusi. Hanya kira-kira sekitar 1930 tampak adanya penelitian-penelitian
antroplogi berdasarkan konsep-konsep itu di Uni Soviet. Dalam tahun 1940-an
muncul beberapa ahli antropologi Inggris dan Amerika yang menghidupakan lagi
konsep-konsep mengenai teori evolusi kebudayaan., tetapi yang sama bagi semua
bangsa di dunia.
C. Penutup
Evolusi sebelum abad ke-19 sangat
erat sekali dengan para tokoh antropolog. Hingga bermuncullah tokoh-tokoh
antropolog yang mengeluarkan konsep-konsep mengenai evolusi itu sendiri.
Misalnya saja seperti H. SPENCER dengan teori evolusi universalnya, J.J. Bachofen
dengan teori evolusi keluarga, G.A Wilken dengan teori kebudayaan di Indonesia,
serta tokoh-tokoh antropologi lainnya. Hingga menghilangnya pemakaian teori
evolusi dalam kurun abad ke 19 dan dimunculkan lagi abad ke 20 oleh ahli
antropolog Uni Soviet, Inggris dan Amerika.
DAFTAR REFERENSI
Koentjaraningrat.
Sejarah Teori Antroplogi. Jakarta. UI PRESS : 1987
Fedyani,
achmad. Antropologi Kontenporer. Jakarta. Kencana : 2005
Keesing, samuel. Antropologi Budaya.
Jakarta. Erlangga : 1989
disusun oleh :
Aulia Maharani Suci
1KA11- 11112252
Sistem Informasi
1 komentar:
terima kasihh :k:
Posting Komentar