Kamis, 02 Mei 2013

Revolusi Kebudayaan




Revolusi Budaya

Kebudayaan Indonesia Zaman Pra Sejarah
Pembagian zaman dalam prasejarah diberi sebutan menurut benda-benda atau peralatan yang menjadi ciri utama dari masing-masing periode waktu tersebut. Adapun pembagian kebudayaan zaman prasejarah tersebut terdiri dari:

I. Zaman Batu Tua (Palaelitikum)
Berdasarkan tempat penemuannya, maka kebudayaan tertua itu lebih dikenal dengan sebutan Kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.

1.Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935 di daerah Pacitan ditemukan sejumlah alat-alat dari batu, yang kemudian dinamakan kapak genggam, karena bentuknya seperti kapak yang tidak bertangkai. Dalam ilmu prasejarah alat-alat atau kapak Pacitan ini disebut chopper (alat penetak). Soekmono mengemukakan bahwa asal kebudayaan Pacitan adalah dari lapisan Trinil, yaitu berasal dari lapisan pleistosen tengah, yang merupakan lapisan ditemukannya fosil Pithecantropus Erectus. Sehingga kebudayaan Palaelitikum itu pendukungnya adalah Pithecanthropus Erectus, yaitu manusia pertama dan manusia tertua yang menjadi penghuni Indonesia.

2.Kebudayaan Ngandong
Di daerah sekitar Ngandong dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun, ditemukan alat-alat dari tulang bersama kapak genggam. Alat-alat yang ditemukan dekat Sangiran juga termasuk jenis kebudayaan Ngandong. Alat-alat tersebut berupa alat-alat kecil yang disebut flakes. Selain di Sangiran flakes juga ditemukan di Sulawesi Selatan. Berdasarka penelitian, alat-alat tersebut bersalo dari lapisan pleistosen atas, yang menunjukkan bahwa alat-alat tersebut merupakan hasil kebudayaan Homo Soloensis dan Homo Wajakensis (Soekmono, 1958: 30). Dengan demikian kehidupan manusia Palaelitikum masih dalam tingkatan food gathering, yang diperkirakan telah mengenal sistem penguburan untuk anggota kelompoknya yang meninggal.

II. Zaman Batu Madya (Mesolitikum)
Peninggalan atau bekas kebudayaan Indonesi zaman Mesolitikum, banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Kehidupannya masih dari berburu dan menangkap ikan. Tetapi sebagian besar mereka sudah menetap, sehingga diperkirakan sudah mengenal bercocok tanam, walaupun masih sangat sederhana.
Bekas-bekas tempat tinggal manusia zaman Mesolitikum ditemukan di goa-goa dan di pinggir pantai yang biasa disebut Kyokkenmoddinger (di tepi pantai) dan Abris Sous Roche (di goa-goa). Secara garis besar kebudayaan zaman Mesolitikum terdiri dari: alat-alat peble yang ditemukan di Kyokkenmoddinger, alat-alat tulang, dan alat-alat flakes, yang ditemukan di Abris Sous Roche.



Kebudayaanzaman Mesolitikum di Indonesia diperkirakan berasal dari daerah Tonkin di Hindia Belakang, yaitu di pegunungan Bacson dan Hoabinh yang merupakan pusat kebudayaan prasejarah Asia Tenggara. Adapun pendukung dari kebudayaan Mesolitikum adalah Papua Melanesia.

III. Zaman Batu Muda (Neolitikum)
Zaman Neolitikum merupakan zaman yang menunjukkan bahwa manusia pada umumnya sudah mulai maju dan telah mengalami revolusi kebudayaan. Dengan kehidupannya yang telah menetap, memungkinkan masyarakatnya telah mengembangkan aspek-aspek kehidupan lainnya. Sehingga dalam zaman Neolitikum ini terdapat dasar-dasar kehidupan. Berdasarkan alat-alat yang ditemukan dari peninggalannya dan menjadi corak yang khusus, dapat dibagi kedalam dua golongan, yaitu:

1.Kapak Persegi
Sebutan kapak persegi didasarkan kepada penampang dari alat-alat yang ditemukannya berbentuk persegi panjang atau trapesium (von Heine Geldern). Semua bentuk alatnya sama, yaitu agak melengkung dan diberi tangkai pada tempat yang melengkung tersebut. Jenis alat yang termasuk kapak persegi adalah kapak bahu yang pada bagian tangkainya diberi leher, sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi.

2.Kapak Lonjong
Disebut kapak lonjong karena bentuk penampangnya berbentuk lonjong, dan bentuk kapaknya sendiri bulat telur. Ujungnya yang agak lancip digunakan untuk tangkai dan ujung lainnya yang bulat diasah, sehingga tajam. Kebudayaan kapak lonjong disebut Neolitikum Papua, karena banyak ditemukan di Irian.

Benda-benda lainnya pada zaman Neolitikum adalah kapak pacul, beliung, tembikar atau periuk belanga, alat pemukul kulit kayu, dan berbagai benda perhiasan. Adapun yang menjadi pendukungnya adalah bangsa Austronesia untuk kapak persegi, bangsa Austo-Asia untuk kapak bahu, dan bangsa Papua Melanesia untuk kapak lonjong.

IV. Zaman Logam
Zaman logam dalam prasejarah terdiri dari zaman tembaga, perunggu, dan besi. Di Asia Tenggara termasuk Indonesia tidak dikenal adanya zaman tembaga, sehingga setelah zaman Neolitikum, langsung ke zaman perunggu. Adapun kebudayaan Indonesia pada zaman Logam terdiri dari:

1.Kebudayaan Zaman Perunggu
Hasil-hasil kebudayaan perunggu di Indonesia terdiri dari: kapak Corong yang disebut juga kapak sepatu, karena bagian atasnya berbentuk corong dengan sembirnya belah, dan kedalam corong itulah dimasukkan  tangkai kayunya. Serta nekara, yaitu barang semacam berumbung yang bagian tengah badannya berpinggang dan di bagian sisi atasnya tertutup, yang terbuat dari perunggu. Selain itu, benda lainnya adalah benda perhiasan seperti kalung, anting, gelang, cincin, dan binggel, juga manik-manik yang terbuat dari kaca serta seni menuang patung.

2.Kebudayaan Dongson
Dongson adalah sebuah tempat di daerah Tonkin Tiongkok yang dianggap sebagai pusat kebudayaan perunggu Asia Tenggara, oleh sebab itu disebut juga kebudayaan Dongson. Sebagaimana zaman tembaga, di Indonesia juga tidak terdapat zaman besi, sehingga zaman logam di Indonesia adalah zaman perunggu.

V. Zaman Batu Besar (Megalitikum)
Zaman Megalitikum berkembang pada zaman logam, namun akarnya terdapat pada zaman Neolitikum. Disebut zaman Megalitikum karena kebudayaannya menghasilkan bangunan-bangunan batu atau barang-barang batu yang besar. Peninggalan-peninggalannya yang terpenting adalah:
1.Menhir, yaitu tiang atau tugu yang didirikan sebagai tanda peringatan terhadap arwah      nenek moyang.
2.Dolmen, berbentuk meja batu yang dipergunakan sebagai tempat meletakkan sesajen yang dipersembahkan untuk nenek moyang.
3.Sarcopagus, berupa kubur batu yang bentuknya seperti keranda atau lesung dan mempunyai tutup.
4.Kubur batu, merupakan peti mayat yang terbuat dari batu.
5.Punden berundak-undak, berupa bangunan pemujaan dari batu yang tersusun bertingkat-tingkat, sehingga menyerupai tangga.
6.Arca-arca, yaitu patung-patung dari batu yang merupakan arca nenek moyang.
Hasil-hasil kebudayaan Megalitikum di Indonesia mempunyai latar belakang kepercayaan dan alam pikiran yang berlandaskan pemujaan terhadap arwah nenek moyang.


Tapi kini, semua itu sudah punah karena perilaku generasi muda saat ini mungkin kita akan menghela nafas panjang, apakah budaya kita saat ini telah berevolusi? Mungkin benar, revolusi budaya saat ini seakan begitu deras mengikis secara perlahan akar budaya bangsa Indonesia, baik budaya bahasa moral serta agama.
Banyak factor yang menyebabkan budaya local dilupakan di masa sekarang ini. Masuknya budaya asing ke Indonesia sebenarnya merupakan hal yang wajar, asalkan budaya tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa. Namun pada kenyataanya budaya asing mulai mendominasi sehingga budaya local mulai dilupakan.

Suatu ironis kebudayaan sendiri dijauhi oleh anak muda sekarang. Tidak habis piker mengapa kaum muda sekarang lebih suka ala boyband/girlband, seksi dancer, hip hop yang sama sekali tidak mencerminkan ciri khas budaya Indonesia yang ramah, sopan dan berkepribadian luhur.Di Banjarbaru beberapa waktu lalu tepatnya di lapangan Murjani tarian tidak etis yang sering dikenal sebagai seksi dancer ditampilkan dalam suatu acara promosi salah satu perusahaan rokok. Aksi tarian itu ditampilkan di depan anak-anak di bawah umur yang berjarak hanya beberapa meter saja.
Bukanlah sesuatu hal yang aneh ketika pihak yang seharusnya mengingatkan malah ikut menikmati tarian energik yang identic dengan busana minim dipertontonkan tanpa ada pengawasan ataupun peringatan bagi anak di bawah umur. Sebagian orang menganggap itu hanya sebagai hiburan.
Di mana letak pengawasan orangtua saat anak-anal yang harusnya berada di rumah malah dibiarkan berkeliaran bukan pada tempat dan waktunya?

Dalam tinjauan psikologi perkembangan, peran orangtua dibutuhkan dalam mendampingi dan memberitahu bagaimana mereka bisa menyesuaikan diri pada perubahan, perkembangan dan adanya perbedaan di dalam lingkungan mereka. Anak-anak tidak bisa dibiarkan lepas ke dunianya sendiri.
Logika yang muncul, jika lingkungan mereka tidak tepat maka anak-anak ini akan mendapat dampak negatif, baik perubahan psikologinya ataupun kepribadiannya. Memang benar anak dibebaskan untuk memilih apa yang menurutnya itu cocok untuk dirinya. Di sinilah orangtua wajib mengarahkan dan membimbing. Pembelajaran seni tari pada anak usia dini sangat berpengaruh terhadap pola perkembangan anak yang ditandai dengan perkembangan motoric kasar dan motoric halus, pola bahasa dan piker, emosi jiwa serta perkembangan social anak.

Di sekolah keprihatinan manakala keberadaan siswa didik kurang berminat terhadap seni budaya daerah, kata-kata yang terlontar dari mereka bahwa tari/lagu daerah itu kuno (ketinggalan jaman). Itulah persoalan yang menampar wajah dunia pendidikan saat ini. Apakah fakta tersebut bias dari program Ujian Nasional (UN) yang hanya menekankan factor pengetahuan (kognitif) belaka. Fakta keterampilan (psikomotor) kurang mendapat perhatian.

Padahal pelajaran tari bukan bertujuan untuk mempelajari sikap gerak saja, namun juga sikap mental, kedisiplinan, sehingga pendidikan tari itu menjadi media pendidikan. Dalam bukunya tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara menuliskan, tari anak-anak akan memberi pengaruh terhadap ketajaman pikiran, kehalusan rasa dan kekuatan kemauan serta memperkuat rasa kemerdekaan.
Dinas Pendidikan Banjarbaru KASI Kurikulum Drs Simum. MM saat ditemui di kantornya menerangkan untuk pelestarian budaya daerah di sekolah itu di pelajari dari kesenian tari, music daerah, bahasa hingga sejarah kedaerahan. Itu semua terangkum dalam pelajaran Muatan Lokal (Mulok).
Sekretaris Dinas Pendidikan Provinsi Herman Taupan di Banjarmasin menambahkan tidak hanya mulok, ekstrakurikuler pun menambah pengayaan pelestarian budaya daerah pada siswa didik di sekolah. Ajang perlombaan tari, music panting sering diadakan. Sekarang tergantung dari sekolah masing-masing sebab sekolah mempunyai hak otonomi untuk memajukan program mulok serta ekstrakurikuler tadi.

Di sisi lain, pihak sekolah kadang-kadang masih memandang kesenian dengan sebelah mata dibandingkan dengan bidang lain, seperti olahraga. Contoh nyata, pembangunan sarana olahraga jauh mengalahkan ketersediaan sarana berekspresi kesenian, bahkan juga mengalahkan kepentingan yang paling mendasar seperti perpustakaan.

Banyak sekolah yang membangun aula megah dan mahal, ruang kesenian tanpa bentuk berada di situ. Sesungguhnya, dalam buku petunjuk teknis mata pelajaran kesenian tertera kata “laboratorium” sebagai ruang praktek kesenian di sekolah. Tak hanya polemic kesenian di pendidikan formal sekolah tahun 2009 ajang budaya Internasional di Malaysia “Rampak Gendang Nusantara” menuai kekecewaan, 40 perwakilah dari Indonesia Sanggar Pesona Banjar sampai berita ini diterbitkan belum menerima sertifikat sebagai peserta tersebut oleh pihak yang bertanggung jawab di Indonesia sebagai pembimbing serta mengantar mereka di ajang itu.

Belajar dari Arsyad Indradi seorang budayawan Banjar, tubuh tua rentanya tak pernah menjadi kendala untuk terus berkarya melalui sastra-sastra indah dan mewariskan budaya luhur banjar kepada cucunya Putri Kurnia Pratiwi siswi SMA Negeri II Martapura serta anak didiknya di Sanggar Selendang Mayang. Sari, Baron, Tazki serta anak-anak Sanggar Selendang Mayang dengan penuh semangat berlatih tari Radap Rahayu serta Baksa Kembang di Musium Lambung Mangkurat.
Keceriaan, suka duka selalu mewarnai jejak langkah mereka dalam melestarikan seni tari klasik banjar di tengah maraknya seni tari modern sebagai idola kaum remaja saat ini. Mereka mengaku ini semua kami lakukan karena hobi, saat kami lakukan gerakan klasik ini kami merasa damai. Seni tradisional yang selama ini jauh dari kehidupan generasi muda dengan berbagai sebab-sebabnya yang telah diuraikan. Mulai dari arus globalisasi dan generasi muda yang cenderung apatis dan mengikuti arus, sehingga budaya asing yang terkesan praktis telah menjadi kiblat budaya mereka.

Bagaimanapun juga ajaran-ajaran seni tradisional daerah telah memberikan pemahaman moral yang luhur, dan memang sangat sesuai jika di aplikasikan dalam diri generasi muda. Tidak malukan kita dengan anak-anak kecil pada Sanggar Selendang Mayang yang melestarikan budaya daerah?


Aulia Maharani Suci
1KA11-11112252
Sistem Informasi

Evolusi Kebudayaan



TEORI EVOLUSI KEBUDAYAAN
Evolusi merupakan sebuah kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita, apalagi jika konsep pembicaraannya mengenai perubahan. Kata evlolusi sangat berkaitan sekali dengan seorang tokoh yang bernama Charles Dharwin, dia adalah orang yang mempopulerkan kata-kata evolusi pertama kali. Evolusi yang dimaksudkannya disini adalah evolusi biologi makhluk hidup khususnya manusia. Namun, evolusi tidak bermakna sesempit itu apabila dikaitkan dengan kata “perubahan”  termasuk perubahan kebudayaan. Berbagai macam pernyataan dan ungkapan yang mendukung serta menolak akan adanya evolusi tersebut. Kenapa hal itu bisa terjadi.
Terdapat beberapa pertanyaan yang membuat penulis perlu mengangkatkan judul makalah ini mengenai evolusi kebudayaan itu sendiri, diantaranya :
1.      Apa itu evolusi kebudayaan ?
2.      Bagaimana proses evolusi secara universal menurut para ahli ?
3.      Bagaimanakan Analogi Evolusi, antara evolusi biologi, evolusi kebudayaan dan seleksi alam ?
4.      Kenapa menghilangnya teori kebudayaan itu ?
Beberapa pertanyaan tersebut akan penulis paparkan dalam pembahasan berikut.
B.     Pembahasan
Berikut pembahasan penulis mengenai teori evolusi kebudayaan :

1.      Evolusi kebudayaan
Evolusi kebudayaan bisa didefenisikan sebagai suatu perubahan atau perkembangan kebudayaan, seperti perubahan dari bentuk sederhana menjadi kompleks (syaifudin, 2005 : 99) .Perubahan itu biasanya bersifat lambat laun. Paradigm yang berkaitan dengan konsep evolusi tersebut adalah evolusionalisme yang berarti cara pandang yang menekankan perubahan lambat-laun menjadi lebih baik atau lebih maju dari sederhana ke kompleks.
Tak berlebihan apabila dikatakan bahwa evolusionalisme dikatakan sebagai landasan awal bagi pembentukan berbagai paradigma dalam antropologi.  Menurut hemat penulis, meskipun sebagian paradigm saat ini mengatakan tidak sepakat dengan evolusionalisme namun secara sadar ataupun tidak sadar antropolog dan juga ahli ilmu social lainnya menggunakan ungkapan-ungkapan evolusionistik seperti “sederhana-kompleks”, “kemajuan-kemunduran”, “tradisional-modern”, atau “desa-kota” dalam menanggapi gejala sosial tetentu. Dengan kata lain, banyak pikiran dalam evolusionisme tetap hadir dalam paradigm-paradigma antropologi social budaya masa kini.

2.      Proses Evolusi Sosial Secara Universal menurut para ahli
Menurut konsep evolusi secara universal mengatakan bahwa masyarakat manusia berkembang secara lambat ( berevolusi ) dari tingkat-tingkat rendah dan sederhana menuju ke tingkat yang lebih tinggi dan kompleks. Dimana kecepatan perkembangannya atau proses evolusinya berbeda-beda setiap wilayah yang ada di muka bumi ini. Itu sebabnya sampai saat ini masih ada juga kelompok-kelompok manusia yang hidup dalam masyarakat yang bentuknya belum banyak berobah dari dahuu hingga saat ini kebudayaannya.
a)      Konsep evolusi social universal H. Spencer
1)      Teori mengenai asal mula religi
Spencer megatakan bahwa semua bangasa yang ada di dunia ini, religi itu dimulai dengan adanya rasa sadar dan takut akan maut. Spencer mengatakan bahwa bentuk religi yang tertua adalah religi terhadap penyambahan roh-roh nenek moyang moyang yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang yang telah meninggal. Bentuk religi yang tertua ini pada semua bangsa di dunia ini akan berevolusi ke bentuk religi yang lebih komplex yaitu penyembahan kepada dewa-dewa, seperti dewa kejayaan, dewa perang, dewa kebijaksaan, dewa kecantikan, dewa maut ( konetjaranigrat,1980:35 ) dan dewa lainnya.
Dewa-dewa yang menjadi pusat orientasi dan penyembahan manusia dalam tingkat evolusi religi seperti itu mempunyai cirri-ciri yang mantap dalam bayangan seluruh umatnya, karena tercantum dalam mitologi yang seringkali telah berada dalam bentuk tulisan.
Elovusi dari religi itu dimulai dari penyembahan kepada nenek moyang ke tingkat penyembahan dewa-dewa.Kebudayaan berevolusi karena didorong oleh suatu kekuatan mutlak yang disebut dengan evolusi universal. H.Spencer berpendapat bahwa perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari setiap bangsa di dunia akan melewati tingkat-tingkat yang sama. Namun Ia tidak mengabaikan fakta bahwa perkembangan dari tiap-tiap masyarakat atau sub-sub kebudayaan dapat mengalami proses evolusi dalam tingkat-tingkat yang berbeda.
Pada suatu bangsa misalnya, mungkin timbul keyakinan akan kelahiran kembali, dan karena dalam suatu religi seperti itu aka nada keyakinan bahwa roh manusia itu bisa dilahirkan kembali ke dalam tubuh binatang, maka terjadi suatu kelompok religi dimana manusia menyembah binatang atau roh binatang. Pada suatu masa binatang-binatang itu akan dianggap sebagai lambing dari sifat-sifat yang dicita-citakan atau ditakuti oleh manusia, seperti misalnya burung elang menjadi lambing kejayaan, gajah menjadi lambing kebijaksanaan, singa menjadi lambang peperangan dan sebagainya. Dengan demikian manusia yang menghormati binatang tadi mulai menghormati dewa kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa peperangan dan sebagainya, yang seringkali memang berwujud binatang.
Dalam permasalahan tersebut Spencer juga memberikan pandangannya terhadap proses evolusi secara umum. Spencer mengatakan, dalam evolusi sosial aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam masyarakat, adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling cocok dengan masyarakat di mana mereka hidup.
2)      Teori tentang evolusi hukum dalam masyarakat
Spencer mengatakan bahwa hukum yang ada dalam masyarakat pada awalnya adalah hukum keramat. Hukum keramat bersumber atau berasal dari nenek moyang yang berupa aturan hidup dan pergaulan. Masyarakat yakin dan takut, apabila melanggar hukum ini maka nenek moyang akan marah. Selanjutnya masyarakat manusia semakin komplex sehingga hukum keramat tadi semakin berkurang pengaruhnya terhadap keadaan masyarakat atau hukum keramat tersebut tidak cocok lagi.
Maka timbullah hukum sekuler yaitu hukum yang berlandaskan azas saling butuh-membutuhkan secara timbal balik di dalam masyarakat. Namun karena jumlah masyarakat semakin banyak maka dibutuhkan sebuah kekuasaan otoriter dari raja untuk menjaga hukum sekuler tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, timbullah masyarakat beragama sehingga kekuasaan otoriter Rajapun tidak lagi cukup. Untuk mengatasi hal tersebut , ditanamkanlah suatu keyakinan kepada masyarakat yang mengatakan bahwa raja adalah keturunan dewa sehingga hukum yang dijalankan adalah hukum keramat.
Pada perkembangan selanjutnya timbullah masyarakat industri,dimana kehidupan manusia semakin bersifat individualis yaitu suatu sifat yang mementingkan diri sendiri tanpa melihat kepentingan bersama. Sehingga hukum keramat raja tidak lagi mampu untuk mengatur kehidupan masyarakat. Maka munculah hukum baru yang berazaskan saling butuh-membutuhkan antara masyarakat. Lahirlah suatu hukum baru yang disebut dengan undang-undang.
Dalam masalah tersebut terakhir spencer sempat mengajukan juga pandangannya tentang makhluk yang bisa hidup langsung adalah yang bisa cocok dengan persyaratan yang terdapat dalam lingkungan alamnya. Maka dalam evolusi social aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan dalam masyarakat adalah hukum yang dapat melindungi kebutuhan para warga masyarakat adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling berkuasa, yang paling pandai, dan yang paling mampu. 
b)     Teori evolusi keluarga J.J. Bachofen
Menurut Bechofen bahwa di seluruh dunia ini, evolusi keluarga berkembang melalui empat tahapan ( Koentjaraningrat, 1980 ) yaitu sebagai berikut :
1.      Tahapan Promiskuitas : di mana manusia hidup serupa sekawan binatang berkelompok, laki-laki dan wanita berhubungan bebas…sehingga melahirkan keturuna tanpa ada ikatan ( Koentjaranigrat, 1980: 38 ) pada tahapan ini kehidupan manusia sama dengan kehidupan binatang yang hidup berkelompok. Pada tahapan ini, laki-laki dan perempuan bebas melakukan hubungan perkawinan dengan yang lain tanpa ada ikatan kelurga dan menghasilkan keturunan tanpa ada terjadi ikatan keluarga seperti sekarang ini
2.       Lambat laun manusia semakin sadar akan hubungan ibu dan anak, tetapi anak belum mengenal ayahnya melaikan hanya masih mengenal ibunya. Dalam keluarga inti, ibulah yang menjadi kepala keluarga dan yang mewarisi garis keturunan. Pada tahapan ini disebut tahapan matriarchate. Pada tahapan ini perkawinan ibu dan anak dihindari sehingga muncullah adat exogami.
3.       Sistem Patriarchate : dimana ayahlah yang menjadi kepala keluarga serta ayah yang mewarisi garis keturunan. Perubahan dari matriarchate ke tingkat patriarcahte terjadi karena laki-laki merasa tidak puas dengan situasi keadaan sosial yang menjadikan wanita sebagai kepala keluarga. Sehingga para pria mengambil calon istrinya dari kelompok-kelompok yang lain dan dibawanya ke kelompoknya sendiri serta menetap di sana. Sehingga keturunannyapun tetap menetap bersama mereka.
4.       Pada tahapan yang terakhir, patriarchate lambat laun hilang dan berobah menjadi susunan kekerabatan yang disebut Bachofen susunan parental. Pada tingkat terakhir ini perkawinan tidak selalu dari luar kelopok (exogami) tetapi juga dari dalam kelompok yang sama (endogami). Hal ini menjadikan anak-anak bebas berhubungan langsung dengan kelurga ibu maupun ayah.
c)      Teori evolusi kebudayaan di Indonesia, G.A. Wilken
Ia merumuskan teori-teori tentang sejumlah gejala kebudayaan dan kemasyarakatan, misalnya tentang teknonimi atau tentang hakikat mas kawin. Menurut Wilken pada pada mulanya hanya merupakan alat untuk mengadakan perdamaian antara pengantin pria dengan pengantin wanita setelah berlangsung kawin lari suatu kejadian yang sering terdapat dalam masa peralihan antara tingkat matriakat ke tingkat patriakat.
d)     Teori evolusi kebudayaan L.H Morgan
Ia mencoba melukiskan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia melalui delapan tingkat evolusi kebudayaan. Menurutnya, masyarakat dari senua bangsa di dunia sudah atau masih menyelesaikan proses evolusinya melalui delapan tingkat berikut :
1)      Zaman liar tua, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan api; dalam zaman ini manusia hidup dari meramu, mencari kar-akar dan tumbuhan-tumbuhan liar.
2)      Zaman liar madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai ia menemukan senjata busur panah; dalam zaman ini manusia mulai merobah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari ikan di sungai atau menjadi pemburu.
3)      Zaman liar muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan busur panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat barang-barang tembikar; dalam zaman ini mata pencaharian hidupnya masih berburu.
4)      Zaman barbar tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat tembikar sampai ia mulai beternak atau bercocok tanam.
5)      Zaman barbar madya, yaitu zaman sejak manusia beternak atau bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam.
6)      Zaman barbar muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam, sampai ia mengenal tulisan.
7)      Zaman peradaban purba, menghasilakan beberapa peradapan klasik zaman batu dan logam.
8)      Zaman perdaban masa kini, sejak zaman peradapan klasik sampai sekarang.
e)      Teori Evolusi Religi E.B. Tylor
E.B.Tylor berpendapat, asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran ini disebabkan oleh dua hal: ( Koentjaraningrat 1980:48)
1)      Adanya perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Manusai sadar bahwa ketika manusai hidup ada sesuatu yang menggerakkan dan kekuatan yang menggerakkan manusia itu disebut dengan jiwa
2)      Peristiwa mimpi, di mana manusia melihat dirinya di tempat lain ( bukan di tempat ia sedang tidur ). Hal ini menyebabkan manusia membedakan antara tubuh jasmaninya yang berada di tempat tidur dengan rohaninya di tempat-tempat lain yangdisebut jiwa.
Selanjutnya Tylor mengatakan bahwa jiwa yang lepas ke alam disebutnya denga roh atau mahluk halus. Inilah menyebabkan manusia berkeyakinan kepada roh-roh yang menempati alam. Sehingga manusia memberikan penghormatan berupa upacara doa, sesajian dll. Inilah disebut Tylor sebagai anamism.
Pada tingkat selanjutnya manusia yakin terhadap gejala gerak alam disebabkan oleh mahluk-mahluk halus yang menempati alam tersebut. Kemudian jiwa alam tersebut dipersonifikasikan sebagai dewa-dewa alam. Pada tingkat selanjutnya manusia yakin bahwa dewa-dewa tersebut memiliki dewa tertinggi atau raja dewa. Hingga akhirnya manusia berkeyakinan pada satu Tuhan.
f)        Teori Mengenai Ilmu Gaib dan Religi J.G. Frazer
Pada mulanya manusia hanya menggunakan akalnya untuk memecahkan masalah. Namun lambat laun sistem pengetahuan manusai semakin terbatas untuk memecahkan masalah bahkan tidak sanggup lagi memecahkan masalah. Sehingga manusia memecahkannya dengan magic, ilmu gaib. Magic adalah semua tindakan manusia untuk mencapai sesuatu dengan menggunakan kekuatan-kekuatan alam dan luar lainnya. (Koentjaraningrat 1980:54)
Namun dalam perkembangan selanjutnya kekuatan magic tersebut tidak selamnya berhasil. Maka manusia mulai sadar bahwa di alam ini ada yang menempatinya yaitu mahluk-mahluk halus. Mulailah manusai mencari hubungannya dengan mahluk-mahluk halus tersebut. Dengan itu timbullah religi. Religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk memproleh sesuatu dengan cara memasrahkan diri kepada penciptanya.
3.      Analogi Evolusi, antara evolusi biologi, evolusi kebudayaan dan seleksi alam
Tidak ada persoalan dengan pandangan bahwa kebudayaan itu berevolusi. Manusia menjadi pemburu dan peramu, menggunakan peralatan disamping otot-otot dan gigi-geligi. Manusia mulai menanam tumbuh-tumbuhan dan memelihara hewan untuk memenuhi kebutuhan akan makanan, manusia membangun kota dan sistem politik yang kompleks. Perubahan-perubahan kebudayaan ini dijelaskan oleh seleksi alam meskipun perilaku budaya tidak memiliki komponen genetic untuk diwariskan.
Proses seleksi alam membutuhkan tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu ;
Pertama, seleksi alam memerlukan variasi agar bisa bekerja.
Kedua, harus ada reproduksi yang berkelanjutan.
Ketiga, harus ada mekanisme yang memperbanyak unsur-unsur pengubah kebudayaan tersebut.
Dalam evolusi biologi, variabelitas berasal dari rekombinasi genetic dan mutasi. Sedangkan dalam evolusi kebudayaan variabelitas dating dari rekombinasi perilaku yang dipelajari dan dari penemuan-penemuan. Kebudayaan tidaklah tertutup atau terisolasi seperti halnya spesies. Suatu spesies tidak akan meminjam unsure-unsur genetic dari spesies lain, tapi kebudayaan dapat meminjam hal-hal baru dan perilaku dari kebudayaan lain. Sebagai contoh, cara bertanam jagung di suatu daerah dapat diterapkan juga di daerah-daerah lain.
Perilaku juga cenderung mengalami seleksi seperti halnya seleksi pada ukuran tubuh atau ketahanan terhadap penyakit. Meskipiun perilaku tidak diwariskan secara genetic kepada generasi selanjutnya, orang tua yang menunjukkan unsure-unsur perilaku adaptif lebih cenderung “menciptakan” unsure-unsur itu kepada anak-anaknya, yang dipelajari melalui peniruan maupun ajaran orang tua.
Orang tua dan anak-anak juga mungkin meniru perilaku adaptif orang-orang di luar keluarga. Dengan demikian, meskipun evolusi biologi dan evolusi kebudayaan tidak sama, cukup beralasan untuk berasumsi bahwa seleksi alam secara umum bisa bekerja pada gen maupun perilaku budaya. Inilah antara lain yang penulis maksud dengan analogi evolusi.
4.      Menghilangnya teori-teori evolusi kebudayaan
Pada akhir abad ke-19 mulai timbul kecaman-kecaman terhadap cara berfikir dan cara bekerja para sarjana penganut evolusi kebudayaan. Kecaman mulai menyerang detail dan unsure-unsur tertentu dalam berbagai karangan dari para penganut teori-teori tersebut, kemudian meningkat menjadi serangan-serangan terhadap konsepsi dasar dari teori-teori tentang evolusi kebudayaan manusia.
Pengumpulan bahan keterangan baru, terutama sebagai hasil penggalian-penggalian serta bertambah banyaknya aktivitas-aktivitas penelitian para ahli antropologi sendiri. Dengan demikian mulai tampak bahwa tingkat-tingkat evolusi para penganut teori-teori evolusi dari para penganut teori-teori evolusi kebudayaan itu hanya merupakan konstruksi-konstruksi pikiran saja, yang tidak sesuai dengan kenyataan dan yang lama-kelamaan tidak dapat di pertahnkan lagi.
Pada permulaan abad ke-20 hampir tidak ada lagi karya antropologi berdasarkan konsep evolusi. Hanya kira-kira sekitar 1930 tampak adanya penelitian-penelitian antroplogi berdasarkan konsep-konsep itu di Uni Soviet. Dalam tahun 1940-an muncul beberapa ahli antropologi Inggris dan Amerika yang menghidupakan lagi konsep-konsep mengenai teori evolusi kebudayaan., tetapi yang sama bagi semua bangsa di dunia. 
C.    Penutup
Evolusi sebelum abad ke-19 sangat erat sekali dengan para tokoh antropolog. Hingga bermuncullah tokoh-tokoh antropolog yang mengeluarkan konsep-konsep mengenai evolusi itu sendiri. Misalnya saja seperti H. SPENCER dengan teori evolusi universalnya, J.J. Bachofen dengan teori evolusi keluarga, G.A Wilken dengan teori kebudayaan di Indonesia, serta tokoh-tokoh antropologi lainnya. Hingga menghilangnya pemakaian teori evolusi dalam kurun abad ke 19 dan dimunculkan lagi abad ke 20 oleh ahli antropolog Uni Soviet, Inggris dan Amerika.





DAFTAR REFERENSI
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antroplogi. Jakarta. UI PRESS : 1987
Fedyani, achmad. Antropologi Kontenporer. Jakarta. Kencana : 2005
Keesing, samuel. Antropologi Budaya. Jakarta. Erlangga : 1989

disusun oleh :
Aulia Maharani Suci
1KA11- 11112252
Sistem Informasi

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

Followers

Pages - Menu

Popular Posts